Pada hari belenggu menuai hisabnya
nanar berpasang mata
larut disetiap harap, disetiap tanya
Sia memanggil, jenuh dalam do'a
gema menjawab dihela nafas
Prasangka menyeruak banal, tiap sisi hati, diri.. .
Aku marah,
menatap sahaja ujung cakrawala
Tak berkejap kata.. .
melepasmu, berkalang waktu tujuh puluh lima purnama
dibatas senja riak mata memandang.. .
Satu yang pergi
setahun sudah menjalani kesunyian nasibnya
7 komentar:
syukurlah Kang kalo 'dia' sudah terbebas dari belenggu yang membatasinya. semoga ini menjadi hal yang lebih baik
apa kabar Kang?
syukurlah Kang kalo 'dia' sudah terbebas dari belenggu yang membatasinya. semoga ini menjadi hal yang lebih baik
apa kabar Kang?
Semoga ini menjadikan kabar yang terbaik denganhasil yang terbaik pula Kang.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog
Aku merasakan kesunyian yang merdeka dalam puisi ini Bang..
heheheh
Pak Sis: Makasih sudah singgah disini, kabar saya baek pak, semoga begitu juga dengan keadaan bapak dan keluarga. 'Dia' belum terbebas dari belenggu Pak, masih lima tahun masa itu mesti dijalani.
Ejawantah: Entahlah ini kabar baik atau bukan, coz baru setahun masa yang dijalani. Masih terlalu lama menunggu saat kebebasan itu.
Terimakasih Pak sudah singgah di Jejak lalu.
Mbak Prit: Kesunyiannya memang terasa Mbak, tapi 'belum' dengan kemerdekaannya.
duh aku gak ngerti tentang apa :( masih jarang update ya mas
Patah hatimu lumayan lama ya bung...
Puk puk puk
Posting Komentar