Pada hari belenggu menuai hisabnya
nanar berpasang mata
larut disetiap harap, disetiap tanya
Sia memanggil, jenuh dalam do'a
gema menjawab dihela nafas
Prasangka menyeruak banal, tiap sisi hati, diri.. .
Aku marah,
menatap sahaja ujung cakrawala
Tak berkejap kata.. .
melepasmu, berkalang waktu tujuh puluh lima purnama
dibatas senja riak mata memandang.. .
Satu yang pergi
setahun sudah menjalani kesunyian nasibnya
5 komentar:
Semoga ini menjadikan kabar yang terbaik denganhasil yang terbaik pula Kang.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog
Aku merasakan kesunyian yang merdeka dalam puisi ini Bang..
heheheh
Pak Sis: Makasih sudah singgah disini, kabar saya baek pak, semoga begitu juga dengan keadaan bapak dan keluarga. 'Dia' belum terbebas dari belenggu Pak, masih lima tahun masa itu mesti dijalani.
Ejawantah: Entahlah ini kabar baik atau bukan, coz baru setahun masa yang dijalani. Masih terlalu lama menunggu saat kebebasan itu.
Terimakasih Pak sudah singgah di Jejak lalu.
Mbak Prit: Kesunyiannya memang terasa Mbak, tapi 'belum' dengan kemerdekaannya.
duh aku gak ngerti tentang apa :( masih jarang update ya mas
Patah hatimu lumayan lama ya bung...
Puk puk puk
Posting Komentar